Beralih dari Hutan ke Lahan Pertanian: Desa yang Bertransisi
“Tinggal di dekat hutan, mata pencaharian kami dahulu berkutat di mencari dan memproses kayu," kenang Edi Saroha Pandiangan, penduduk Desa Muara Bungkal di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Namun seiring dengan perkembangan industri kayu yang tidak berkelanjutan, Edi dan penduduk lainnya mulai mencari cara baru untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka-cara yang lebih ramah lingkungan dan menjaga hutan, bukan merusaknya.

Titik Balik: Mengadopsi Pertanian
Transisi terjadi di tahun 2016, ketika pemerintah meluncurkan program ketahanan pangan. Edi mulai bercocok tanam, meskipun di awal tidak terlalu menguntungkan.
"Saya beralih ke pertanian, meskipun hasil panennya tidak terlalu sukses," kata Edi.
Suyatno, penyuluh pertanian, berbagi mengenai tantangan mendorong masyarakat untuk tinggal di desa dan bertani. "Desa ini punya banyak potensi, tetapi secara sejarah, penduduknya lebih memilih mencari pekerjaan di luar desa," katanya. Penebangan hutan dan pekerjaan di ibukota provinsi terlihat lebih menjanjikan. Namun Suyatno tetap gigih-mengunjungi dari rumah ke rumah dan mengadakan pertemuan untuk membawa perubahan melalui program ketahanan pangan.

Earthworm Foundation Mulai Masuk
Pada tahun 2021, Earthworm Foundation mulai bekerja di desa melalui inisiatif lanskap Riau. "Earthworm meminta masukan dari kami sebagai masyarakat, bertanya bagaimana mereka dapat mendukung dan membangun desa kami. Mewakili masyarakat, saya menyampaikan cerita dan aspirasi kami," kata Edi. Sebagai awal mula dari inisiatif lanskap, Perencanaan Penggunaan Lahan Partisipatif adalah model dan langkah yang Earthworm percaya memiliki potensi kuat untuk meregenerasi alam dan menmberdayakan masyarakat. Salah satu hasil dari proses perencanaan tersebut adalah munculnya rekomendasi untuk membentuk kelompok tani.
Bekerja dan Bertumbuh Bersama
Dahulu, kebanyakan petani bekerja sendiri secara individu. Menurut Edi, hal ini berarti pendapatan yang kecil dan tidak konsisten. "Ketika kita bertani sendiri-sendiri, rata-rata saya hanya dapat 1 hingga 2 juta Rupiah per bulan. Bekerja bersama secara kolektif terbukti lebih baik," katanya.
Semenjak membentuk Unit Bisnis Petani PT Muara Agro Lestari (MAL), Edi dan petani lainnya mengelola lahan seluas sekitar 5,5 hektar. Mereka menanam cabai, bawang, timun, dan jagung. Di akhir tahun 2023, bahkan tercatat hasil panen cabai mencapai 7,3 ton per hektar.
Saat ini, sebanyak 21 petani gotong royong mengelola lahan, dengan pendapatan bulanan berkisar 2,5 hingga 3 juta Rupiah.
Memberdayakan Perempuan
Awal tahun 2023, Rahma Deliza—biasa dipanggil Liza—bergabung dengan kelompok tani. Dulu, Liza adalah ibu rumah tangga yang bergantung pada suami yang pendapatannya tak menentu. Ia pun mulai bertransformasi.
“Saya bersyukur bisa bekerja di sini. Saya bisa mendapatkan pemasukan tambahan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Ketika bisnisnya sukses, maka kami perempuan dan ibu-ibu juga merasakan manfaatnya," katanya.

Dukungan Selain Bibit dan Lahan
Bentuk asistensi Earthworm meluas tidak hanya sebatas saran teknis. Tim kami memberikan pelatihan mengenai praktik pertanian yang baik-mulai dari penyiapan tanah agar gembur dan penjadwalan penanaman komoditas yang sesuai dengan kebutuhan pasar hingga proses pascapanen dan menghubungkan dengan pasar. Earthworm juga membantu masyarakat memetakan sumber daya lokal dan mengajukan proposal pendanaan.
Dalam perjalanannya, salah satu mitra kunci dalam program ini adalah Dinas Pertanian Kabupaten Siak, yang mengalokasikan 10 hektar lahan untuk ketahanan pangan dan menyediakan bibit bawang merah untuk kesuksesan kelompok tani.
Kolaborasi dan Kemitraan Masyarakat dan Pemerintah
Rozikin, Koordinator Mata Pencaharian untuk Lanskap Riau menekankan dampak dari kolaborasi antara swasta dan publik ini.
"Dari lima siklus tanam sejak 2022, para petani fokus menanam bawang merah di lahan yang sudah dialokasikan. Kami berharap adanya dukungan yang terus berlanjut dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang semakin sejahtera di Desa Muara Bungkal," katanya.

Tantangan dan Ketangguhan Bersama
Meski perkembangan yang signifikan, perjalanan transisi ini bukanlah tanpa tantangan. Pada akhir 2023, hanya 10 hari sebelum panen, masyarakat melaporkan adanya banjir yang merendam lahan dan berujung pada gagal panen. Kejadian ini membuat petani rugi hingga sekitar 500 juta Rupiah.
"Ketika bertani, kita bersama dengan alam dan juga hama, dan banyak tantangan muncul. Tetapi karena kita berkelompok, kita bersama-sama berbagi suka dan duka, jadi beban itu tidak saya tanggung sendiri. Semangat kami tidak padam, meski menghadapi kerugian ini. Kami memulai kembali sedikit demi sedikit," kata Edi.
Earthworm terus berdiri bersama masyarakat melalui masa sulit ini, membantu mereka pulih dan membangun kembali.
Melihat Ke Depan
"Kami berterima kasih pada Earthworm Foundation atas semua dukungan yang kami terima. Kami harap di masa mendatang, Earthworm terus mendukung dan mendampingi kami sehingga lahan seluas 225 hektar di desa ini dapat kami kelola dengan efektif, dan bertahap, dan berkelanjutan. Selain itu, kami juga berharap Earthworm dapat membantu menghubungkan kami dengan pemerintah dan perusahaan di area sekitar untuk mendorong perekonomian lokal," tambahnya.
Model untuk Regenerasi
Program di Riau ini tidak hanya tentang cabai atau pertanian. Earthworm hadir di lapangan dan menapakkan kaki dengan kuat di Riau selama satu dekade terakhir. Kerja dan upaya kami melampaui pertanian cabai atau perlindungan lahan gambut, tetapi juga tentang perubahan nyata di lanskap.
Di Riau, Earthworm memimpin inisiatif skala lanskap yang menghubungkan rantai pasok dengan kawasan produksi. Sebagai hub dari aksi kolektif, pendekatan ini memungkinkan regenerasi yang dapat direplikasi dan mengatasi tantangan utama dalam keberlanjutan, tepat di akarnya. Program di Riau didanai oleh APRIL, Colgate, Givaudan, LVMH, Nestle, PZ Cussons, Reckitt, Target, Walmart Foundation.