Bacaan 6 menit
Provinsi Riau, Indonesia—Dengan perkebunan kelapa sawit serta pulp & kertas yang membentang seluas jutaan hektar, Riau adalah produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia. Namun, di balik hamparan ini, petani kecil menghadapi kenyataan yang keras: produktivitas yang terus menurun, pendapatan yang tidak menentu, dan ancaman kerusakan lingkungan yang kian mendekat. Tantangannya besar, tetapi begitu pula tekad mereka yang berusaha membuka jalan ke depan.
Di tengah provinsi ini, Earthworm Foundation bekerja mengubah tantangan menjadi peluang. Kami berkolaborasi dengan perusahaan, rantai pasok bahan baku, Organisasi Masyarakat Sipil, dan pemerintah untuk meregenerasi alam dan memperbaiki kehidupan masyarakat, menciptakan contoh perubahan holistik yang dapat diperluas. Dengan menggabungkan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan, reforestasi, agroforestri, dan upaya ketahanan masyarakat, kami tidak hanya melestarikan alam—kami juga mengamankan mata pencaharian masyarakat.
Perjalanan dimulai di tingkat desa, di mana perencanaan penggunaan lahan secara partisipatif (PLUP) menjadi landasan untuk perubahan yang berkelanjutan. Di sinilah, dalam kehidupan sehari-hari petani dan tokoh masyarakat, transformasi mulai berakar. Di antara desa-desa ini, tiga desa menonjol: Batu Sasak, Mak Teduh, dan Kerumutan. Masing-masing memiliki cerita yang berbeda, namun bersama-sama, mereka menggambarkan kekuatan kolaborasi dalam membangun Riau yang lebih berkelanjutan.
Selama bertahun-tahun, penduduk Desa Batu Sasak hidup dengan keseimbangan yang timpang. Di satu sisi terdapat hutan, yang menjadi sumber kehidupan dan perlindungan. Di sisi lain, ada kebutuhan mendesak akan stabilitas ekonomi. Supri, pemimpin Kelompok Hutan Sei Sialang, sangat memahami perjuangan ini.
"Saya khawatir," Ia mengaku, "jika kondisi keuangan masyarakat tidak baik, mereka akan kembali menebang pohon dan membuka lahan."
Ini adalah sebuah kenyataan—tanpa prospek ekonomi yang lebih baik, upaya konservasi akan selalu terancam. Namun, bagaimana jika perlindungan hutan dan peningkatan mata pencaharian bisa berjalan beriringan? Pertanyaan inilah yang membawa Earthworm Foundation dan masyarakat menuju solusi dua arah: pariwisata dan produksi gambir.

Desa Batu Sasak memiliki potensi pariwisata, air terjun. Namun, selama bertahun-tahun, wisatawan hanya melewati Desa Batu Sasak dalam perjalanan menuju desa tetangga. Potensi itu selalu ada, tetapi dibutuhkan perspektif baru untuk melihatnya dari sisi yang berbeda.
“Kami membentuk kelompok sadar wisata,” kata Supri, “dan dengan cepat mengelola jalur menuju air terjun. Bekerja sama dengan Earthworm membuat kami menyadari bahwa kami juga perlu merawat dan mengoptimalkan potensi desa kami. Selain itu, dengan menanam pohon juga akan membantu menjaga mata air.”
Sementara itu, peluang lain terletak pada gambir, komoditas lokal yang sejak lama dijual murah. Abdul Gani, Ketua Kelompok Gambir, sangat memahami perjuangan ini.
“Hanya mereka yang memiliki modal cukup yang bisa membangun rumah kampan [pengolahan],” katanya. “Bagi yang tidak mampu, kami tidak punya pilihan lain.”
Tanpa fasilitas yang memadai, petani gambir tidak punya pilihan selain menjual daun hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga rendah. Hasilnya? Siklus pendapatan rendah dan peluang terbatas. Namun, dengan dukungan dari Earthworm, komunitas ini membangun rumah kampan, tempat pengolahan, yang memungkinkan petani untuk mengolah dan menjual gambir dengan harga yang lebih tinggi. Perubahan ini bukan hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga merupakan langkah menuju kemandirian dan keberlanjutan.
Melalui inisiatif ini, warga Desa Batu Sasak membuktikan bahwa ketika konservasi dan pengembangan ekonomi berjalan beriringan, baik masyarakat maupun alam dapat berkembang. Dan ini hanyalah satu bagian dari teka-teki besar yang sedang terungkap di Riau.
“Sekarang, orang harus antre untuk menggunakan rumah kampan agar bisa mengolah hasil panen mereka,” jelas Abdul Gani. “Pemasukan yang kami dapatkan dari menyewakan rumah kampan ini akan digunakan untuk membangun rumah pengolahan lainnya dengan sistem hidrolik yang lebih efisien.”

Berkat upaya ini, gambir dari Desa Batu Sasak kini dipasarkan ke area sekitar, memperluas dampak ekonominya.
Di Desa Mak Teduh, yang terletak di jantung Kabupaten Pelalawan, di tengah lahan gambut, masyarakat telah lama terbiasa hidup dengan ancaman kebakaran hutan yang selalu membayangi. Kehidupan di sini berputar di sekitar tanah dan sungai, tetapi ketika desa menerima Izin Perhutanan Sosial, ketidakpastian menyelimuti langkah mereka.
Suriadi, Kepala Desa, masih mengingat awal-awal kebingungan. “Aturannya jelas—area hutan tidak bisa dibuka atau diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Jadi apa yang harus kami lakukan dengan izin ini? Bagaimana ini bisa membantu kami?” kenangnya.
Earthworm mulai bekerja di wilayah ini saat desa baru saja mendapatkan Izin Perhutanan Sosial. Melalui diskusi partisipatif, Rencana Kerja Perhutanan Sosial disusun. Di dalamnya termasuk rencana yang akan melindungi hutan sekaligus membuka cara baru untuk menopang kehidupan masyarakat ini.
Rencananya cukup ambisius: konservasi hutan, ekowisata dengan petualangan susur sungai, dan langkah-langkah penting untuk mengatasi penebangan liar. Namun, mungkin inisiatif yang paling mengubah penghidupan masyarakat datang untuk para nelayan desa. Earthworm membantu memperkenalkan budidaya ikan terapung—sebuah ide yang membangkitkan harapan masyaarkat yang telah menyaksikan jumlah ikan di sungai mereka semakin menurun.
Paremak, seorang nelayan dan anggota Kelompok Tani Hutan Sungai Bobak, tersenyum bangga saat menjelaskan perubahan tersebut. “Dulu kami menangkap ikan, tapi semakin sedikit. Sekarang, kami memiliki keramba ikan sendiri, dan kami telah banyak belajar. Bukan hanya soal pemasukan—dengan melepaskan ikan kembali ke sungai, kami juga berharap bisa membantu menghidupkan kembali perairan kami meningkatkan populasi ikan.”

Apa yang tadinya bermula sebagai perjalanan penuh ketidakpastian, telah berubah menjadi kisah ketangguhan. Desa Mak Teduh tidak lagi sekadar desa yang terbentur dengan keterbatasan, tetapi menjadi komunitas yang membentuk masa depan berkelanjutan mereka sendiri.
Di bawah terik matahari, hamparan lahan di Kelurahan Kerumutan membentang sejauh mata memandang, didominasi oleh perkebunan kelapa sawit yang telah lama membentuk lanskap area ini. Namun, di tengah luasnya lahan ini, terdapat sekelompok petani yang gigih berusaha membuka jalan di mana alam dan mata pencaharian dapat berjalan beriringan.

Perubahan berpusat dari Abdul Gani, Lurah Kerumutan. "Kami memiliki 22 hektar lahan yang tidak produktif," katanya kepada para petani. "Bagaimana jika kita menghidupkan kembali lahan ini?"
Dengan dukungan dari Earthworm, masyarakat memulai perjalanan. Mereka belajar menerapkan sistem tumpang sari—menggabungkan pohon tanaman keras dengan tanaman hortikultura, memulihkan kesehatan tanah, dan menciptakan sumber pendapatan yang berkelanjutan.
Jajuli, anggota Kelompok Tani Tumbuh Berseri, masih ingat saat-saat ketika bertani terasa seperti perjuangan yang sia-sia. "Dulu, kami hampir tidak bisa mencukupi kebutuhan," kenangnya. "Pengetahuan kami terbatas, begitu juga hasil panen kami. Tapi setelah pelatihan dan dukungan langsung dari Earthworm, semuanya berubah." Ladang yang dulu hanya menghasilkan panen kecil, kini mulai memberikan hasil yang melimpah.
“Sekarang, hasil panen kami tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja,” kata Jajuli, wajahnya berseri-seri dengan kebanggaan. “Kami juga menjualnya ke desa-desa tetangga. Yang dulunya hanya beberapa kilo dan kwintal saja, kini hasilnya bisa mencapai ton. Produksi kami meningkat sebesar 70%!”

Pembelajaran dari Desa Batu Sasak, Mak Teduh, dan Kerumutan menggambarkan potensi perubahan dari upaya keberlanjutan yang terintegrasi. Inisiatif konservasi, dipadukan dengan pemberdayaan ekonomi, membantu masyarakat di Riau dengan mata pencaharian yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Keberhasilan ini membuktikan kebenaran yang nyata—ketika konservasi, pengelolaan lahan, dan pertumbuhan ekonomi selaras, maka masyarakat tidak perlu lagi memilih antara alam atau pendapatan. Mereka dapat memiliki keduanya.
Namun, pekerjaan ini belum selesai. Visi ini melampaui tiga desa ini. Jika model keberlanjutan ini berkembang di seluruh Riau dan bahkan lebih luas lagi, maka kita bisa mengubah lanskap, memberdayakan lebih banyak komunitas, dan menciptakan dampak berkelanjutan dari stabilitas lingkungan dan ekonomi di seluruh Indonesia.
Semua ini tidak akan terwujud tanpa dukungan dari Walmart Foundation, yang membantu mendorong aksi kolektif bersama perusahaan seperti LVMH, Nestlé, Reckitt, APRIL, Colgate-Palmolive, Givaudan, and Target.