Bacaan 2-3 menit
Konservasionis Hardi Baktiantoro berbagai pengalamannya melindungi orangutan
Sekitar 15 tahun yang lalu, seekor bayi orangutan mati dalam investigasi perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia. Konservasionis Hardi Baktiantoro, menyamar sebagai penyelundup, membantu kepolisian. Ia menyesalkan hari kejadian itu. Orangutan itu tidak pernah bangun setelah diberi obat bius, kata Pak Hardi, yang saat itu masih sebagai aktivis mahasiswa saat itu.
"Bagi saya, rasanya seperti membunuh bayi manusia," katanya. "Sejak hari itu, saya berjanji untuk mendedikasikan hidup saya untuk melindungi orangutan."
Kini, Pak Hardi adalah pendiri Centre for Orangutan Protection (COP) – organisasi nirlaba yang bekerja menyelamatkan orangutan dan habitat alaminya. Sampai saat ini, ia telah terlibat dalam penyelamatan lebih dari 250 orangutan dari hutan Indonesia yang telah menjadi perkebunan.
"Terus-terusan menyelamatkan mereka bukanlah jawabannya," ujarnya. "Ibarat menyeka lantai yang basah sementara keran air masih terus menyala. Saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang memperbaiki keran yang bocor."
Dalam semangat mencari solusi, Pak Hardi bekerja sama dengan Kumacaya – sistem verifikasi pihak ketiga oleh The Forest Trust (TFT) yang memungkinkan perusahaan memantau rantai pasok terkait masalah lingkungan dan sosial. Pada tahun 2017, Pak Hardi dan timnya menghabiskan sekitar enam bulan di Kalimantan Timur, mereka mendokumentasikan masalah deforestasi dan orangutan di dekat pabrik pengolahan dan perkebunan.
"Ini menjadi cara baru untuk berkomunikasi dengan perusahaan," katanya. "Kami masih memverifikasi masalah; juga berdiskusi dengan perusahaan untuk memastikan bahwa prinsip keberlanjutan bukan hanya sekadar untuk pemasaran."
Awalnya, organisasi lain mengingatkan Pak Hardi bahwa hal ini dapat menjadi cara bagi perusahaan untuk membungkam kelompok kritis. Tetapi ia memiliki pendapat yang berbeda.
"Kumacaya adalah fasilitator untuk menyelesaikan permasalahan," katanya. "Ini efektif, dan ada umpan balik langsung dari lapangan."
Pak Hardi terpilih untuk program pilot pemantauan Kumacaya di Indonesia. Proyek pemantauan berlangsung selama enam bulan dan melibatkan area sekitar pabrik pengolahan dan perkebunan yang terhubung dengan beberapa rantai pasok perusahaan. Organisasi Masyarakat sipil dan pakar, seperti Pak Hardi, akan dipilih dari tiga proposal anonim yang masuk ke tim Kumacaya. Selama fase enam bulan fase pemantauan, dan tiga bulan berikutnya, perusahaan diberi waktu untuk menyelesaikan masalah. Setelah periode sembilan bulan ini, Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dipersilahkan untuk mempublikasikan hasil temuannya.
Meski terdapat Perusahaan dengan praktik yang belum sepenuhnya ideal resisten terhadap perubahan, tetapi ada juga yang mengajak ia mencari solusi bersama, kata pria 45 tahun dari Jawa Timur, Indonesia itu. Korupsi dan kurangnya informasi pemetaan menjadi tantangan utama.
"Awalnya saya menemukan penolakan, bukan konfirmasi untuk memecahkan masalah," ujarnya. "Tetapi lebih baik bagi pembeli untuk melibatkan pihak-pihak ini untuk menghentikan deforestasi, daripada berhenti membeli sama sekali."
****